JAKARTA - Jadi politisi zaman now, harus punyo pitih. Banyak pitih banyak pemilih, sehingga muncul politisi si Raja Sawer, tebar-tebar pesona melalui tebar-tebar pitih.
Dalam pikiran si Raja Sawer, pitih banyak, banyak dunsanak. Sehingga terpilih pun nanti dia akan berujar lantang bahwa saya terpilih karano dunsanak kontan ambo, yaitu pitih.
Raja Sawer biasanya seorang oportunis, melihat peluang berdasarkan peluang uang, uang yang ditebar dan uang yang akan didapatkan.
Gerak-gerik oportunis sangat mudah terbaca, biasanya dia loncat sana loncat sini, belum selesai suatu jabatan atau amanah, dia akan loncat lagi ke jabatan lain sekiranya jabatan itu akan memberikan manfaat lebih bagi pribadinya.
Pemimpin oportunis ini jauh dari kata "punya malu" yang ada dalam pikirannya adalah "Saya punya mau" dan "saya mampu."
Dia lupa kalau ada ribuan orang atau bahkan ratusan ribu orang yang menghantarkan dia pada posisi sekarang, menghantarkan dia jadi pemegang amanat rakyat. Setelah amanat itu dipegangnya, dan mendapatkan tawaran yang menurut pandangan dia menguntungkan pribadinya, dia tinggalkan begitu saja, sehingga aspirasi masyarakat yang dititipkan kepadanya dia tinggalkan juga, bahkan pemegang aspirasi itu bisa berpindah kepada daerah lain, menyedihkan sekali.
Baca juga:
Tony Rosyid: KAMI di Tengah Lautan Persekusi
|
Tapi bagi pemimpin oportunis harapan masyarakat hanya seumpama debu, para pendukung, dan pemilih tak obahnya sebuah "Ganja batu", Mobil berangkat batu terlupakan, tergeletak di jalan, tak ada harga, selain hanya sebongka batu.
Beda dengan seorang negarawan, politisi sejati yang mendorong kehadirannya dalam masyarakat karena kewajiban dari rasa tanggung jawab terhadap masyarakat yang berharap perobahan nasib dan kehidupan, lahir dari rasa tanggung jawab untuk memberdayakan masyarakat dari ketertinggalan, dari keterbelakangan, serta dari kebodohan karena ketidakmampuan mengakses pendidikan, dan ekonomi.
Pemimpin sejati mengedepankan partisipasi seluruh masyarakat, sehingga ada kegembiraan dalam membangun karena di setiap hati merasakan keikutsertaan.
Pemimpin sejati tidak akan meninggalkan kawan seperjuangan, apapun itu perbedaan dalam perjalanan kekuasaan, dia akan menganggapnya suatu dinamika yang mendewasakan.
Perbedaan tidak akan menciptakan dendam, apalagi sampai melakukan pembunuhan karakter dengan cara-cara di luar nalar. Hal ini tak akan pernah ada dari seorang pemimpin sejati yang secara sadar atau tidak sadar dia adalah panutan dan tauladan bagi rakyat yang dia pimpin.
Momentum pilkada adalah momentum perubahan, memilih seorang pemimpin adalah memilih perobahan ke arah yang lebih baik. Mau berubah, harus berani menentukan pilihan, jangan sampai masa depan tergadaikan kepada si Raja Sawer cuma karena selembar kertas yang dinamakan pitih, duit, uang, kepiang, dan apapun itu namanya.
Berani beda berani berubah, perbedaan adalah dinamika demokrasi yang menghantarkan kita kepada pemimpin asli bukan pemimpin yang tebar-tebar pesona dengan berbagai wajah.
Banten, 8 September 2020
Joni Ikwal
Pengamat Politik, Aktivis, Pemerhati Sosial