Pariwisata Sumbar di Persimpangan: Waktunya Memilih Arah

    Pariwisata Sumbar di Persimpangan: Waktunya Memilih Arah

    OPINI -   Sumatera Barat dianugerahi lanskap alam dan budaya Minangkabau yang memesona. Dari danau yang berkilau, lembah yang hijau, hingga tradisi yang lekat dalam kehidupan masyarakat, potensi wisata di daerah ini sejatinya tak kalah dari Bali, Lombok, atau Labuan Bajo. Namun, potensi besar itu masih tersembunyi di balik masalah-masalah kecil yang dibiarkan menahun.

    Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat penghunian kamar hotel berbintang di Sumbar hanya 56, 38 persen pada Desember 2023. Rata-rata wisatawan menginap kurang dari dua hari. Ini menandakan bahwa wisatawan datang, tapi cepat pergi. Mereka terpikat pada daya tarik alam, namun kecewa oleh pengalaman yang ditawarkan.

    “Wisatawan datang karena keindahan, tapi tinggal karena kenyamanan. Kalau WC-nya jorok, jalannya rusak, mereka tidak akan kembali, ” ujar Nanda Febrina, pelaku homestay di Ngarai Sianok.

    Keluhan wisatawan pun terdengar seragam: 'signage' yang sering membingungkan, jalan berlubang ke lokasi wisata, serta fasilitas umum seperti toilet yang tak memadai. Bandingkan dengan Labuan Bajo yang telah menata ulang fasilitas dasar secara serius—mulai dari akses jalan, toilet umum, hingga papan petunjuk wisata yang terpadu—hingga mampu mencatat lebih dari 400 ribu kunjungan pada 2023.

    Survei Kompas pada Maret 2024 menemukan bahwa hanya dua toilet standar tersedia di Danau Maninjau. Jalan menuju Puncak Lawang rusak ringan di hampir separuh ruasnya. Papan petunjuk hanya terpajang di sepertiga dari 10 destinasi wisata utama.

    Krisis lain datang dari keberlanjutan. Pembangunan akomodasi di Lembah Harau sudah menyentuh kawasan konservasi. Jika tidak diatur, pariwisata masal bisa merusak daya tarik utamanya. Masyarakat lokal pun masih kerap menjadi penonton, bukan pelaku utama industri ini.

    “Kami sudah lama usulkan pelebaran jalan ke Puncak Lawang, tapi belum ditindaklanjuti. Bus wisata sering kesulitan naik, ” ujar Wali Nagari Sungai Batang, Erizal.

    Sebaliknya, di Lombok, pemerintah daerah menggelontorkan Rp30 miliar hanya untuk membenahi jalan ke destinasi wisata. Itu belum termasuk investasi di sisi SDM dan promosi.

    Sumbar juga tertinggal dalam digitalisasi. Banyak destinasi tak memiliki situs resmi. Tak ada sistem reservasi daring, peta digital, atau informasi harga tiket dan paket wisata. Hal-hal yang kini menjadi kebutuhan dasar bagi wisatawan zaman digital.

    “Kalau informasi tidak tersedia secara online, wisatawan pindah ke destinasi lain yang lebih siap, ” kata Rahmat, pelaku travel digital.

    Pelatihan bagi pelaku pariwisata pun belum menyentuh akar persoalan. Masih berkutat di level teknis tanpa memperkuat karakter pelayanan yang hangat dan profesional. Kolaborasi dengan kampus, pelaku usaha, dan komunitas kreatif nyaris tak terdengar.

    Tata kelola pun kerap terjebak dalam ego sektoral. Tidak ada insentif bagi inovasi. Daerah yang berani mencoba pendekatan baru tidak mendapat sokongan. Padahal, Sumbar punya narasi yang kuat untuk dijual: dari kuliner yang mendunia, kisah perjuangan, hingga adat yang masih lestari.

    Wisatawan kini mencari pengalaman, bukan sekadar pemandangan. Sumbar punya semua bahan baku, tinggal menyusun ulang resepnya. Strategi baru, visi bersama, dan keberanian untuk berubah adalah kunci.

    Forum rutin lintas pelaku perlu dibentuk untuk menyamakan persepsi dan mengevaluasi langkah. Semua pembangunan harus berlandaskan pada rencana induk yang berpihak pada kelestarian dan kenyamanan.

    Promosi pun harus berevolusi. Bukan lagi mengandalkan brosur, tetapi membangun kehadiran digital yang konsisten. Media sosial, video pendek, dan cerita visual harus dimanfaatkan untuk menjangkau wisatawan muda.

    Desa wisata seperti Kubu Gadang, Sungai Batang, dan Silokek telah memberi contoh bahwa pendekatan berbasis komunitas adalah masa depan. Pemerintah perlu memperluas model ini dan memberikan pendampingan berkelanjutan.

    Pariwisata bukan hanya tentang ekonomi, tetapi juga harga diri dan identitas daerah. Ia bisa menjadi lokomotif kemajuan jika ditangani secara serius dan sistematis.

    Kini, Sumatera Barat berdiri di persimpangan. Melangkah maju dengan langkah besar, atau terus tertinggal di jalur lama yang lambat. Waktunya memilih arah. Dan sejarah telah membuktikan, orang Minang tak pernah takut mengambil jalan terjal demi masa depan yang lebih cerah

    Oleh: Indra Gusnady, SE, MM (Pengamat Kebijakan Publik & Perencanaan Kota / Kepala Badan Keuangan Daerah Kabupaten Solok)

    #pariwisata #pariwisata_sumbar #sumbarrancak
    JIS Sumbar

    JIS Sumbar

    Artikel Sebelumnya

    Koperasi Merah Putih: Menyulam Harapan dari...

    Artikel Berikutnya

    Wali Kota Solok Hadiri RUPS PT Bank Nagari,...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Kecelakaan Maut di Jalan Raya Solok-Padang, Pemotor Tewas di Tempat
    Super Sigap, Jasa Raharja Sumbar Salurkan Santunan kepada Korban Kecelakaan Truk CPO di Padang
    Polsek Tanjung Mutiara Gelar Deklarasi Kampung Sehat Bebas Narkoba di Dua Nagari
    Komitmen Keberlanjutan KAI Logistik: Penguatan Moda KA, Digitalisasi, dan Aksi Hijau
    Sat Lantas Polres Solok Kota Gelar Razia Gabungan, 34 Pengendara Terjaring Pelanggaran ODOL

    Ikuti Kami