OPINI - Sebenarnya gagasan untuk melaksanakan General Assembly (GA, musyawarah umum) akhir pekan kemarin lebih dikarenakan rilis Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) tentang tatacara penerimaan dan sistim seleksi masuk perguruan tinggi negeri tahun 2021 mendatang.
Namun bersamaan dengan rilis tersebut, disertakan pula peringkat (indeksasi) SMA/MA se Indonesia yang disusun berdasarkan nilai rerata UTBK 2020. Hasilnya sangat mengagetkan bagi Sumatera Barat. Dalam 1000 besar SMA/MA se Indonesia, Sumatera Barat hanya bisa menghadirkan 27 sekolah, bervariasi mulai dari peringkat 73 hingga 944.
Untuk diketahui di Sumatera Barat saat ini terdapat 559 sekolah setingkat SMA dan sederajat. Dengan kata lain, SMA yang berada di posisi 1 se Sumatera Barat hanya menduduki urutan ke 73 nasional, dan kurang dari 5% SMA di Sumbar yang berhasil masuk 1000 besar nasional.
Para alumni utamanya yang berada di rantau bereaksi atas posisi ini, mempertanyakan kualitas SMA di Sumatera Barat saat ini. Ini dapat dimaklumi mengingat pada saat para alumni masih di SMA dan bersiap masuk ke perguruan tinggi, Sumatera Barat adalah salah satu provinsi papan atas untuk lulusan SMA di Indonesia. Ini terlihat dari banyaknya siswa asal Sumatera Barat yang berhasil hadir di perguruan tinggi negeri unggulan (Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung dan Universitas Gadjah Mada). Hampir setiap tahun Sumatera Barat berhasil menghadirkan mahasiswa terbanyak di 3 ptn tersebut setelah propinsi di pulau Jawa.
Sementara respons dari manajemen sekolah beragam. Mulai dari yang sudah memperhitungkannya (mengingat tata kelola pendidikan saat ini), mempertanyakan langkah konkrit perbaikan hingga yang tidak merespons sama sekali. Untuk yang terakhir kita tidak mengetahui alasan utama, apakah tidak tahu konsekwensi dari indeksasi sekolah tersebut terhadap kehadiran alumni di PTN unggulan di masa mendatang, atau tidak mau tahu apapun yang akan terjadi dengan alumni sekolah tersebut.
Respon cukup keras justru datang dari tempat yang jauh dari Sumatera Barat. Yan Restu Freski, kepala Sekolah Ilmuwan Minangkabau (SIM) yang saat ini sedang menyelesaikan pendidikan S3 di University of Twentee, Belanda merespons singkat, ‘ini lampu kuning untuk SMA di Sumatera Barat’. Sebelum lampu menjadi merah, Yan menggagas diskusi bersama para guru se Sumatera Barat yang tergabung dalam SIM, yang berhasil dilaksanakan pekan lalu.
Pemeringkatan SMA/MA se Indonesia adalah peristiwa di hilir yang penyebabnya ada di hulu yang berupa gabungan dari sekolah, manajemen, guru, siswa dan apa yang terjadi di ruang kelas. Nilai yang berhasil diperoleh para siswa yang mengikuti UTBK adalah representasi dari hasil kegiatan belajar mengajar di sekolah dengan berbagai dinamika yang terjadi sepanjang 3 tahun.
Diskusi akhir pekan lalu, akhirnya mengerucut pada permasalahan di seputar guru. Meskipun selama ini kita mengetahui bahwa guru adalah salah satu faktor utama permasalahan pendidikan kita hari ini selain manajemen sekolah dan kurikulum.
Namun fakta yang terungkap dalam diskusi malam itu sangat mengejutkan. Guru kita di Sumatera Barat tertinggal di jamannya. Tertinggal dari siswa yang setiap tahun bergantian hadir di sekolah dengan intelegensia yang meningkat, sementara guru menyambut dengan kemampuan keilmuan yang nyaris tidak berbeda dengan ketika lulus kuliah. Tertinggal dari provinsi lain utamanya di Jawa yang sudah menerapkan sistim High Order Thinking Skill (HOTS) dalam peningkatan kompetensi guru dan siswa, guna peningkatan capaian pembelajaran, sementara sebagian besar guru kita masih asing dengan sistim ini.
Sementara merdeka belajar yang digaungkan oleh penanggung jawab utama pendidikan di negeri ini semakin membingungkan para guru mengingat belum adanya panduan resmi berupa kurikulum dan teknik implementasinya. Selain fakta di atas, juga terungkap masalah laten para guru yakni kesejahteraan, yang ternyata berubah secara tidak signifikan dari tahun ke tahun. Keseluruh fakta di atas menunjukkan betapa para guru kita di Sumatera Barat, (maaf) belum selesai dengan dirinya. Masih berjuang untuk mencapai kesejahteraan, juga harus berlari untuk mencapai kompetensi minimal guru masa depan. Inilah yang secara tidak langsung membatasi para guru menjadi kreatif dan inovatif dalam membersamai peserta didik sehari hari.
Sesuai dengan kesepakatan, malam ini GA SIM ini akan berlanjut ke Sesi II. Sesi lanjutan harus diadakan untuk sampai pada solusi konkrit atas permasalahan para guru. Para guru diminta untuk mengusulkan beragam ide/saran konstruktif dan solutif atas permasalahan yang berkelit dan berkelindan di seputar guru (pendidikan). Sudah cukup kita mendiskusikan berbagai masalah yang ada, saatnya kita melakukan eksekusi terhadap berbagai alternatif penyelesaiannya. Kita belum tahu apa yang akan ditulis dan disampaikan oleh para guru, namun mari kita mengingat kembali Ibu/Bapak guru hebat kita di masa lalu yang tinggal di pelosok ranah minang, yang dengan berbagai keterbatasan berhasil mengantarkan kita melampaui batas.
Surabaya, 121220
Ikhsyat Syukur
Salah seorang penggagas Sekolah Ilmuwan Minangkabau (SIM),
Alumni SMAN 2 Padang, Akt. 83