Agam, - Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Resor Agam, Ade Putra menyebut setidaknya ada 10 konflik antara manusia dengan satwa liar dan 6 tindak pidana yang melibatkan satwa dilindungi sepanjang tahun 2020.
“Untuk kejadian konflik antara manusia dan satwa liar tahun 2020 menurun dibandingkan tahun 2019 lalu, yaitu sebanyak 11 kejadian, ” ujarnya, Sabtu (2/1).
Dari 10 kejadian itu, tukasnya, mengakibatkan satu warga meninggal dunia dan satu orang terluka akibat diserang Buaya Muara. Selain itu, sebanyak tiga ekor kerbau, satu ekor sapi dan delapan ekor kambing dimangsa satwa liar berupa Harimau Sumatera, Macan Dahan dan Beruang Madu.
Sepanjang tahun 2020 BKSDA Resor Agam bersama pihak terkait berhasil mengungkap 6 kasus tindak pidana yang melibatkan satwa dilindungi, berupa Burung Rangkong, Kukang, bagian tubuh berupa sisik Trenggiling, Burung Nuri serta Tiong Emas (Beo).
“Keenam kasus telah melalui proses pengadilan dan para pelaku telah menjalani hukuman, ” kata Ade
Sementara, pada tahun 2020 tidak ditemukan kasus tindak pidana pembalakan liar di dalam kawasan hutan Cagar Alam Maninjau. Namun, sambung Ade, beberapa kali hasil patroli tim BKSDA hanya menemukan barang bukti berupa beberapa batang kayu olahan dan telah diamankan di kantor BKSDA Agam.
Menurutnya, tidak ditemukan kasus pembalakan liar terkait meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian kawasan hutan terutama Cagar Alam.
Untuk potensi keanekaragaman hayati, sepanjang tahun 2020 di wilayah kerja BKSDA Resor Agam mencatat penemuan 17 individu Bunga Rafflesia dan 4 tumbuhan Bunga Bangkai dalam kondisi mekar.
Selain itu, pihaknya juga mencatat keberadaan satwa langka dan dilindungi berupa Beruang Madu, Kijang, Kukang, Harimau Sumatra, Macan Dahan, Kucing Hutan, Binturung, Trenggiling, dan berbagai jenis burung seperti Rangkong dan Kuau.
“Tentunya ini menjadi kekayaan hayati Kabupaten Agam yang perlu terus dijaga dan dilestarikan, ” sebutnya.
Sementara itu, pihaknya juga mencatat penyerahan 14 ekor satwa dilindungi dari masyarakat berupa 7 ekor Baning Coklat, 4 Ekor Kucing Kuwuk (Kucing Hutan), 1 ekor Kukang, 1 ekor Binturung dan 1 ekor Burung Rangkong.
Untuk pendataan satwa sepanjang 2020, jelas Ade, sebanyak 36 warga telah melaporkan dan melakukan pendataan satwa burung peliharaannya ke BKSDA Agam. Satwa burung itu didaftarkan ke BKSDA Agam secara kolektif dan perorangan.
“Khusus pendaftaran secara kolektif, petugas BKSDA mendatangi ke lokasi pecinta burung, bagi warga yang telah melaporkan diberikan surat tanda pelaporan, dalam surat itu juga dicantumkan kewajiban pemilik untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku, memelihara kesehatan, kenyamanan, keamanan tumbuhan, satwa liar perliharaan dan bersedia untuk dilakukan pengawasan oleh BKSDA, ” jelas Ade.
Lebih lanjut dijelaskan, sebelumnya pada 2018, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LKH) mengeluarkan Peraturan Menteri LKH Nomor P.20/2018 terakhir diubah dengan Peraturan Menteri LHK Nomor P.106/2018 tentang daftar tumbuhan dan satwa dilindungi.
“Dalam peraturan tersebut beberapa jenis satwa terutama burung yang sebelumnya tidak masuk daftar dilindungi menjadi dilindungi seperti, burung Tiong Emas (Beo), Burung Cica Daun atau Murai Daun dan lainnya, ” terangnya lagi.
Pihaknya berharap untuk antisipasi terjadinya konflik antara manusia dan satwa liar, masyarakat diminta ikut melakukan mitigasi atau pencegahan dengan mengamankan ternak di kandang, meningkatkan kewaspadaan ketika beraktivitas di kebun dan di dalam air, selain itu juga tidak melakukan aktivitas di dalam sungai atau perairan di malam hari.
Untuk satwa dilindungi, peran serta masyarakat dalam mendukung kelestarian dapat dilakukan dengan cara melaporkan dan menyerahkan kepemilikan satwa kepada BKSDA Agam dan tidak melakukan perburuan satwa dilindungi.
“Kedepannya BKSDA akan semakin meningkatkan kerjamasa dengan berbagai pihak termasuk masyarakat dalam menjalankan tugas dan peran konservasi sumber daya alam di wilayah Kabupaten Agam, ” ujarnya.